Surat yang Tertinggal di Budi Luhur


Kisah nyata yang membuat kita berhenti sejenak dan bertanya, siapa sebenarnya yang paling kesepian di dunia ini?

Pagi itu, halaman Panti Asuhan Budi Luhur masih diselimuti kabut tipis.
Embun menetes dari daun mangga yang tumbuh di dekat pagar besi.
Anak-anak lain sedang tertawa di ayunan, tapi di sudut taman, ada satu anak yang tak ikut bermain.
Namanya Rafi, usia 8 tahun.
Tangannya menggenggam erat tas kain warna biru satu-satunya peninggalan dari orang tuanya.

Di dalam tas itu, ada baju, sandal, dan selembar surat.
Tulisan tangan di kertasnya sudah sedikit pudar, tapi masih terbaca:

 “Maafkan Ibu dan Ayah. Kami harus pergi. Jadilah anak yang kuat, Nak. Suatu hari nanti, semoga kamu mengerti.”

Hari itu, tanpa benar-benar paham apa yang terjadi, Rafi ditinggalkan di gerbang panti.
Ia sempat mengejar mobil yang pergi meninggalkan debu di jalanan, tapi langkah kecilnya tak mampu menyusul cinta yang sudah menjauh.

Hari berganti, minggu berlalu.
Setiap sore, Rafi duduk di dekat jendela panti, menatap ke arah jalan besar di depan gerbang.
Setiap mobil yang lewat membuat hatinya berdebar berharap salah satunya berhenti, dan seseorang keluar sambil memanggil namanya.

Tapi tak pernah ada.
Yang datang hanya senja, dan bayangan sendiri di kaca.

Anak-anak lain mulai memanggil pengasuh dengan sebutan “Ibu”.
Tapi Rafi… tak pernah bisa.
Bagi dia, kata “Ibu” adalah luka  bukan panggilan.

Suatu hari, seorang relawan datang ke panti membawa kamera dan buku tulis.
Ia mengajak anak-anak menggambar cita-cita mereka.
Sebagian menggambar rumah, sebagian menggambar pesawat, sebagian lagi menggambar keluarga.

Rafi menggambar pohon dengan dua burung di cabangnya.
Ketika relawan itu bertanya, “Burungnya siapa?”
Rafi menjawab pelan, “Yang satu aku… yang satu Ibu. Tapi Ibunya terbang duluan.”

Relawan itu terdiam.
Ada getar kecil di suaranya saat ia berkata, “Burung yang terbang pun selalu pulang, Rafi. Suatu hari nanti, mungkin Ibumu juga.”

Rafi tersenyum senyum yang ia pelajari bukan dari bahagia, tapi dari harapan yang belum padam.

Waktu berlalu.
Rafi tumbuh jadi remaja yang tenang, tak banyak bicara, tapi rajin membantu anak-anak yang lebih kecil.
Ia sering mengajak mereka memberi makan burung di halaman belakang panti.
Katanya, “Burung juga butuh teman. Sama kayak kita.”

Hari itu, seekor burung kecil terjebak di jaring pagar.
Sayapnya berdarah, dan anak-anak panik.
Rafi pelan-pelan melepaskannya, lalu membiarkan burung itu terbang lagi ke langit sore.

“Kenapa dilepas?” tanya seorang anak kecil.
“Karena kalau sayang,” jawab Rafi, “kita gak boleh nyuruh dia tinggal. Kita harus biarkan dia terbang.”

Dua Puluh Tahun Kemudian

Rafi kini sudah dewasa.
Ia tak pernah bertemu orang tuanya lagi, tapi ia tetap tinggal di Panti Asuhan Budi Luhur kali ini bukan sebagai anak, tapi sebagai pengasuh.

Setiap kali anak baru datang dengan wajah ketakutan dan mata bengkak, Rafi selalu menyambut mereka dengan pelukan.
Dan setiap kali ia melihat burung beterbangan di halaman, ia teringat pada surat lusuh di tas birunya dulu.

Surat itu masih disimpannya kertasnya sudah hampir robek, tapi tulisannya masih sama,

 “Maafkan Ibu dan Ayah. Jadilah anak yang kuat.”

Dan dengan suara bergetar, Rafi sering berkata pada dirinya sendiri:

 “Iya, Bu. Aku sudah jadi anak yang kuat.
Tapi seandainya Ibu tahu…
Aku cuma ingin dicintai bukan ditinggalkan.”


Sobat Rilisan,

Kadang cinta tak datang dalam bentuk yang kita harapkan.
Ada yang mencintai dengan pelukan, ada yang mencintai dengan doa dari jauh dan ada yang pergi karena tak punya cara lain untuk bertahan.

Panti Asuhan Budi Luhur menyimpan banyak kisah seperti Rafi.
Kisah yang membuat kita sadar, bahwa menjadi kuat bukan karena tak pernah ditinggalkan… tapi karena belajar memaafkan yang sudah pergi.

Dan mungkin, di suatu tempat yang tak kita tahu,
ada sepasang orang tua yang masih menyebut nama anaknya dalam doa malam 
karena cinta sejati… tak pernah benar-benar meninggalkan.


Lebih baru Lebih lama
© PT. MEDIA GAYO MUSARA